MENDIAGNOSIS PENGELOLAAN PENDIDIKAN

26 11 2008

Ibarat penyakit kronis atau adanya kekuatan hilang dalam dunia pendidikan kita,  maka penyembuhannya juga sangat berat dan perlu obat khusus. Tulisan ini pun tidak mengasumsikan kesembuhan, tetapi sebuah renungan untuk semua bagaimana pendidikan harus mendapat perhatian serius. Menghilangkan kepura-puraan, seperti  ritual menyukseskan angka-angka palsu dalam setiap pembagian rapor Ujian Akhir Nasional atau lainnya.

Penulis merasakan ada hal yang hilang dalam sistem pendidikan, baik tingkat nasional maupun daerah. Tulisan singkat ini ingin mendeskripsikan secara ringkas beberapa masalah yang sedang berkelindan di lingkungan pendidikan dengan penekanan pada pengelolaannya, serta beberapa langkah yang mungkin ditempuh secara bertahap.
Pertama,  sekolah kita hari ini telah kering dengan nilai-nilai teologi, nilai-nilai moralitas,  dengan segala aspeknya. Baik dari segi jumlah jam untuk menyampaikan maupun materi yang berkaitan kedua hal tersebut. Begitu juga hilangnya suri teladan untuk ditiru dari sebagian orang-orang yang terlibat di dalamnya. Guru yang di masa lalu menjadi teladan bagi murid-muridnya sepertinya telah kehilangan ruhnya.

Mereka menjadi orang-orang yang lemah, mendapat perlakuan sangat diskriminatif dalam segala hal. Mulai dari kesejahteraan sampai  tugas yang kurang jelas operasionalnya dan selalu berubah. Kesemua ini memberi pengaruh secara psikologis, menjadikan rasa rendah diri tertanam di alam bawah sadar. Pilihan jadi guru mungkin langkah terakhir di kampus-kampus, bek hana laen, lantaran tiada lain.

Kembali kepada persoalan nilai-nilai teologi dan moralitas baik dalam pengertian formal atau sekedar semangat kebajikan, ini dua hal yang sepertinya tidak mendapat perhatian  khusus di lembaga yang “menerbitkan guru”. Padahal diakui atau tidak bangsa beradab itu di mulai dengan pengenalan yang baik akan Tuhannya yang menjadi sumber moralitas transendent. Sehingga terbangunnya fondasi nilai-nilai perennial yang berkembang di masyarakatnya secara turun  temurun dan diwariskan melalui proses pendidikan yang benar.

Kenyataan ini tidak seluruhnya dapat disalahkan pada pundak guru, namun pola kurikulum di kampus tidak memberi perhatian yang besar buat masalah ini. Pendidikan semakin mengarah pada komersialisasi dan percepatan angka kerja, bukan pada perubahan bangsa. Menyangkut hal ini Syed Naquib Al-Attas, intelektual Malaysia menyatakan bahwa tujuan pendidikan  semestinya bukan hanya untuk tujuan sosial-ekonomi, tetapi  secara khusus juga untuk mencapai  tujuan spiritual manusia.

Kedua,  Orientasi kurikulum. Kita melihat bahwa dalam beberapa tahun ini di sekolah formal, para guru dan pihak sekolah dicekoki bermacam-macam istilah. Dan paling mutakhir kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang dalam pelaksanaannya guru “harus lari siang” untuk membuat kerja adinistratif, seperti Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), ditambah lagi harus mengisi rapor blok  I  dan II dan remedial.

Dan itupun belum selesai dipahami kini guru dikerjaian lagi  dengan program baru dengan nama Kurikulum Tingkat  Satuan  Pelajaran (KTSP). Sebenarnya guru ok-ok saja menerima semua dan tidak melihat hal tersebut secara sinis. Tapi pertanyaannya apakah hal itu dapat  memberi solusi dibandingkan dengan apa yang diterapkan selama ini, atau hanya untuk menambah kerja guru untuk mengisi sampai tiga kolom nilai untuk satu pelajaran dan 12 kotak penilaian rapor semester.

Orientasi kurikulum sepertinya terlalu dipaksakan, digenjot untuk bisa menyamai apa yang diterapkan di negara-negara maju. Padahal pra sarana pendukung dan komponen pendidikan yang ada belum memadai. Dan yang terjadi disekolah para guru harus memodifikasi tuntutan akan media seperti komputer yang tidak merata di setiap  sekolah, mikroskop, laboratorium bahasa, ruang bimbingan siswa, dan  musalla untuk bimbingan rohani.

Idealisme  diusung  memang  sangat bagus untuk  perbaikan pendidikan sebagai basis untuk kemajuan bangsa. Namun kalau yang digenjot cuma guru   apakah itu adil? Sedangkan sisi lainnya yang mendukung kegiatan guru seperti dinas pendidikan atau lembaga lain yang punya kaitan dengan guru belum “bersahabat” membantu guru untuk dapat mengaktualisasi dirinya, hal ini akan menjadi pincang.

Ketiga, Lingkungan sekolah dan iklim belajar. Menciptakan  lingkungan sekolah yang  nyaman, teratur  dan fasilitas pendukung pemberlajaran adalah  suatu  keharusan, untuk  mendukung terciptanya iklim belajar yang  kondusif. Di samping itu yang terpenting adalah  adanya agen-agen hidup  mulai dari  kepala sekolah, guru senior, guru muda, staf perpustakaan, staf laboratorium yang menghidupkan sekolah benar-benar menjadi tempat dan sumber  belajar. Artinya  setiap orang yang berada  dalam lingkungan  sekolah benar-benar mempunyai  sikap yang tegas  bahwa lingkungan sekolah  adalah lingkungan belajar. Bukan  tempat  sekadar mencari sumber penghidupan  bagi para guru  dan diatur  benar –benar menjadi lingkungan belajar..

Setiap orang yang berada di sekolah benar-benar  mempunyai sense of  learning  (jiwa  belajar),  ditandai dengan  sikap terbuka  terhadap perubahan, menerima kritikan, mau sama-sama belajar pada siapapun, toleran  terhadap perbedaan.

Kondisi ini  sepertinya perlu ditanamkan lebih mendalam di sekolah-sekolah kita.  Semangat untuk  menerima  perubahan, perbedaan dan yang paling sering kritikan dari guru-guru kritis tidak menjadi bumerang bagi  dirinya. Dan keringnya rasa ini sepertinya menjadi permasalahan tersendiri  pada sisi  pengelola sekolah. Para pengelola sekolah sepertinya lebih disibukkan dengan kegiatan sampingan   yang bukan tugas utamanya.

Keempat, pebedaan status ilmu atau  dikhotomi sosial dan eksakta. Dikhotomi antara ilmu sosial dan eksakta sebenarnya bukan sebuah masalah. Namun akan menjadi  persolan manakala anak-anak yang masuk  dalam jurusan ilmu sosial dilabelkan menjadi anak-anak  yang kurang pintar, bandel dan sterio type  negatif lainnya. Di samping muncul image se akan-akan anak  yang kuliah di jurusan sosial akan menjadi anak-anak yang kurang bagus masa depannya.

Sterio type negatif ini  secara psikologis akan membawa pada sikap untuk memberlakukan mereka secara kurang baik yang pada akhirnya akan membawa pengaruh buruk pada  hasil belajar mereka. Padahal merujuk pada pembagian ilmu baik  yang berkembang  di  Barat maupun dunia  Islam, kedua ilmu ini mendapat  kedudukan yang sama. Aristoteles misalnya membagi ilmu dalam dua bagian: Pertama, ilmu praktis, seperti politik, filsafat moral. Kedua,ilmu teoritis, seperti matetika, fisika dan metafisika. Sedangkan  Ibnu Khaldun penggagas ilmu al-‘umran (sosiologi) membagi ilmu  secara umum  menjadi dua: ilmu yang bersumber dari wahyu dan ilmu yang bersumber dari pengamatan.

Jadi di sana tidak ada perbedaan  antara tinggi  atau rendah suatu ilmu, kemudian penting  atau tidak suatu  mata pelajaran di sekolah. Pembagian yang sehat bahwa anak yang duduk  di dua jurusan dilayani  secara sama. Mereka masuk ke jurusan tersebut betul-betul  sesuai dengan bakat, minat, potensi dan tujuan hidup yang ingin dicapai di  masa mendatang.

Kelima, transparansi dana keluar  masuk. Uang merupakan energi yang menggerakkan dunia yang semakin konsumtif. Untuk menghilangkan kecurigaan dan  timbulnya fitnah sesama  guru dan stake holder  di sekolah sudah saatnya membuat jurnal keluar masuk  yang di tempel di tempat terbuka  dan dapat diakses  siapapun mulai guru, murid dan orang tua murid.

Langkah Penyembuhan

Banyak hal yang telah dilakukan untuk perbaikan pendidikan, tapi pertanyaan kenapa selalu penuh dengan kontroversi, penolakan massif atau paradoksi dalam pelaksanaan. Dan menurut saya hal yang pertama ditentukan kembali bahwa semangat teologi pendidikan kita yang kukuh. Inilah yang harus dikongkritkan lagi bagi semua komponen yang terlibat dalam proses pengelolaan pendidikan. Bagaimana sesungguhnya manusia seutuhnya yang menjadi tujuan pendidikan kita. Hal ini perlu dikongkritkan dengan melihat adanya paradok yang besar, misalnya dalam kasus UAN apa hubungan antara manusia yang seutuhnya dengan menguasai tiga mata pelajaran tersebut harus lulus dengan nilai tertentu.

Selanjutnya guru harus menjadi ujung tombak yang sangat serius dalam proses perekrutan mereka, proses pendidikan tenaga kependidikan sampai mereka menjadi guru. Biasanya kampus-kampus keguruan menjadi pilihan terakhir, karena menjadi guru, sama artinya menjadi orang-orang melarat dalam banyak hal, terutama “skak-skak” oleh birokrasi terhadap kesejahteraan mereka.

Begitu juga dengan penghargaan terhadap ilmu sendiri, peminggiran terhadap sejumlah mata pelajaran karena dianggap rendah atau suasana lingkungan belajar yang tidak kondusif harus mampu di atasi dengan sebaiknya di tingkat sekolah. Sedangkan kurikulum seharusnya diserahkan pada setiap daerah mengelolanya. Hanya satu atau dua mata pelajaran yang berlaku secara nasional, yang isinya terserah sama daerah yang mengelola sesuai dengan keinginan mereka.

Di samping itu trasparansi dalam keuangan adalah sebuah hal yang perlu diterapkan. Sehingga setiap orang merasa tahu bagaimana sudah perkembangan atau kemajuan sekolah atau hal yang masih diperlukan di masa mendatang. Sehingga pendidikan betul-betul mejadikan hal yang akan membebaskan manusia. Bukan malah menjadi buah sumber perkara di mana kita menjadi penghafal yang tidak mengerti manfaat buat apa itu semua?

Oleh: Irwandi Zakaria (dengan prubahan judul)


Aksi

Information

Satu tanggapan

11 11 2010
irwandi zakaria

terima kasih mengkopi tuisan ini, kmarin laptopsaya hilang, dan banyak tulisan yang hilang juga, kni mulai saya kumpul kembali

Tinggalkan komentar